Kamis, 02 Desember 2010

ZERO TO HERO, ZERO TO GOOD MOSLEM

Bagaimana rasanya ketika kita menawarkan bantuan dana pada dhuafa namun ditolak? Kita tentu tidak boleh su’udzon. Bisa saja dia seperti yang dimaksud Allah SWT di dalam Al Qur’an yaitu orang yang tidak punya dan tidak suka menengadahkan tangannya alias tidak mau meminta-minta.
            Hal ini berawal dari cerita anak didik saya di Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ) Al Musthofa yang kukelola bersama rekan-rekan, kalau beberapa santri TPQ mengikuti les di sebuah gereja.  Les semua mata pelajaran dengan gratis, bisa main komputer sepuasnya, diberi snack dan makan nasi dengan lauk yang enak (menurut ukuran anak dhuafa) serta enam bulan sekali diajak rekreasi ke Jawa Timur Park atau Taman Safari Prigen Pasuruan. Padahal anak-anak TPQ juga mendapat snack/buah segar sebanyak dua sampai tiga kali dalam satu bulan.
Mendapat berita yang mengagetkan itu membuatku mencari tahu siapa saja yang ikut les ke gereja. Ternyata ada lima anak dan sudah sepengetahuan orang tuanya!!
Aku dan bu Nuri – rekan mengajar di TPQ - sepakat kalau kami harus menghentikannya dengan memberi solusi. Terbayang olehku mereka masuk ke gereja, akrab dengan lingkungannya dan akhirnya menjadi kristiani. Harus dicegah sebelum terlambat!
Benarlah sabda Rosulullah SAW, “Kefakiran lebih dekat pada kekafiran.” Berbekal sabda baginda itulah, aku dan bu Nuri merancang sebuah strategi yang kami pikir efektif untuk melepaskan keterikatan anak-anak dengan pihak gereja.
Aku bertugas mendekati orang tuanya. Sasaranku adalah ibunda kelima anak tersebut. Beragam alasan dilontarkan dari kelima bunda ketika kutawarkan memberi beasiswa setiap bulan, perlengkapan sekolah hingga membayar les pelajaran di tempat lain. Tawaran ini berlaku mulai saat ini (SD) sampai putra-putrinya tamat SMA/sederajat.
Bunda 1           : “Sejak awal saya tidak setuju Banda ikut les di gereja. Meski  keluarga
kami berasal dari keluarga Kristen, namun karena sudah menjadi muslim, saya bertanggung jawab membentengi anak-anak saya supaya menjadi muslim yang taat. Ketika les di gereja, saya yakin anak saya akan diajari seperti orang Kristen. Ketika masuk ke TPQ, dia diajari cara Islam. Oleh karena itu, saya menolak tawaran les gratis. Saya juga diejek saudara-saudara saya yang Kristen, sudah miskin kok menolak difasilitasi secara gratis. Meskipun saya orang miskin, saya tidak ingin anak saya bingung apalagi di jaman sekarang, anak harus kuat agamanya supaya tidak terjebak pergaulan bebas.” 
Akhirnya kami menyalurkan beasiswa dari LMI (Lembaga Manajemen Infaq) Blitar kepada Banda – kebetulan beberapa pengurus LMI adalah teman saya - sebulan sekali hingga dia lulus SMA/sederajat nanti.

Bunda 2           : “Saya  tidak  enak  dengan  saudara-saudara  saya  yang  Kristen.  Saya
biarkan saja Fari diajak les pelajaran ke gereja. Saya sebenarnya ingin membiayai les Fari dengan uang saya sendiri. Tapi bagaimana ya, di sana gratis. Kalau saya menerima tawaran mbak untuk mengeluarkan Fari dari sana, saya sudah terlanjur tanda tangan surat perjanjian dengan pihak gereja.”
Setelah Bunda Fari berjanji mencabut perjanjian dengan pihak gereja dan kami yakin Fari tidak les di sana lagi, kami juga menyalurkan beasiswa dari LMI Blitar kepada Fari – sekarang sudah kelas 2 SD - sebulan sekali hingga dia lulus SMA/sederajat nanti.

Bunda 3           : “Kami berasal dari keluarga  muslim  bahkan  suami  saya  pintar  baca
Al Qur’an. Di gereja fasilitasnya gratis. Seminggu lesnya 3 kali dan selalu diberi makan dan kue. Kata pihak gereja, sekolah anak saya akan dibiayai. Kalau Ajeng dipindah dari sana, saya belum yakin beasiswa yang mbak tawarkan akan terus berlanjut. Khawatirnya setelah Ajeng keluar dari les di gereja, beasiswa yang mbak tawarkan berhenti sebelum Ajeng lulus SMA.”
Saya memberi waktu sebulan supaya Bunda Ajeng mempertimbangkan tawaran saya. Saya juga menyampaikan cerita Ajeng kepada sang Bunda, kalau Ajeng kebingungan. Ketika di gereja diharuskan berdoa dengan doa ala Kristen, sementara di TPQ diajari doa-doa Islami dan Ajeng memilih diam ketika diharuskan berdoa sebelum kegiatan les di gereja. Hingga sebulan berlalu, Bunda Ajeng belum memberi jawaban. Saya beranggapan tawaran saya ditolak, apalagi sewaktu mendengar dari anak-anak TPQ yang lain kalau Ajeng masih les ke gereja.
            Enam bulan berlalu. Hingga suatu hari Bunda Ajeng ke rumah saya dan menanyakan apakah tawaran saya masih berlaku. “Apakah Ajeng sudah tidak les di gereja lagi?” tanya saya.
            Ternyata Ajeng sudah tidak les ke gereja lagi karena bantuan dana untuk sekolah diberhentikan dengan alasan yang kurang jelas. Hanya les gratis saja. Padahal yang sangat diharapkan oleh Bunda Ajeng adalah dananya. Setelah bermusyawarah dengan bu Nuri, kami sepakat memberi beasiswa beserta fasilitas sekolah yang berasal dari donatur (selain LMI) dan diberikan sebulan sekali hingga Ajeng lulus SMA/sederajat. Itupun kami warning jika kami mengetahui dia kembali ke gereja, beasiswa akan kami cabut.  

Bunda 4           : “Terus terang, mbak, saya memasukkan Yesi les ke gereja karena gratis  
dan diberi uang saku meskipun tidak banyak. Saya juga tidak enak kalau harus mencabut surat perjanjian dengan pihak sana. Selain uang saku, di sana diberi dana untuk membeli buku, seragam, sepatu, rekreasi setiap enam bulan sekali dan masih banyak lagi. Kalau Yesi saya tarik dari sana, apakah fasilitas yang diberikan sama seperti di gereja?”
Saya sampaikan fasilitas yang saya tawarkan adalah beasiswa Rp 50.000,00 tiap bulan (ternyata jauh lebih besar dari pemberian gereja!!!). Selain itu, kuitansi pembelian sepatu, tas, seragam, buku atau les di tempat orang muslim akan kami ganti secara tunai, saat itu juga. Saya sampaikan kepada Bunda Yesi, kalau Yesi dan saudara sepupunya, Ajeng, kebingungan ketika harus berdoa di gereja. “Apakah Bunda tidak kasihan kepada Yesi, apalagi Yesi sudah lancar membaca Al Qur’an, sangat cepat menghafal Al Qur’an dan do’a-do’a serta cerdas di sekolah? Siapa yang akan mendo’akan Bunda kalau Bunda telah tiada dan Yesi menjadi non muslim?” tohok saya.
Bunda Yesi minta waktu seminggu untuk menjawab tawaran saya. Seminggu kemudian bunda Yesi menerima tawaran saya. Saya dan bu Nuri memberi beasiswa beserta fasilitas sekolah yang berasal dari donatur (selain LMI) dan diberikan sebulan sekali hingga Yesi lulus SMA/sederajat. Sama seperti pada Bunda Ajeng, Bunda Yesi kami warning, beasiswa akan dicabut jika Yesi kembali ke gereja.

Bunda 5           : “Terserah Wulan saja. Saya tidak berani  menolak  keinginannya untuk
les di gereja. Apalagi yang mengajak adalah tetangga saya yang selama ini sangat baik. Saya tidak enak dengan tetangga saya yang rela antar jemput Wulan untuk les di sana.”
            Sebenarnya saya sudah menyalurkan beasiswa LMI kepada Wulan karena kondisinya yang sangat papa dan yatim. Tetapi sang bunda kurang bisa diajak berkomunikasi sehingga Wulan sering diajak tetangganya ke gereja. Sampai akhirnya beasiswa dari LMI dicabut karena tidak dapat diingatkan.
Kami juga mendengar kalau selama Natal, Wulan ikut merayakan. Karena tidak ingin berlarut, Bu Nuri berusaha mendekati Wulan yang saat itu sudah kelas 6 SD. Melalui pendekatan intens kepada Wulan dan sedikit pemaksaan, akhirnya Wulan berjanji tidak akan ke gereja lagi dan akan keluar dari les di gereja (ternyata kedua gereja yang diikuti Wulan adalah gereja yang berbeda aliran. Wah jadi rebutan rupanya!).
Akhirnya Wulan mendapat beasiswa dari dua donatur sekaligus (selain LMI), mengingat dia adalah anak yatim. Sekarang dia sudah SMP dan kami wajibkan mengikuti pengajian pekanan bersama teman-teman sebaya agar keimanannya bertambah kuat serta tidak mudah terpengaruh lingkungan.

---- 000 ----

Kisah kelima ibu diatas menyadarkan diri saya betapa besar peran seorang ibu dalam mendidik buah hatinya agar bahagia dan selamat dunia akhirat. Hafidz Ibrahim seorang penyair mengatakan : “Ibu adalah sekolah utama, jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau mempersiapkan bangsa berakar kebaikan”.
Dari sosok ibulah sang anak pertama kali mengenal dunianya, belajar banyak hal termasuk mengenal Allah, Rasul dan Islam. Hendak membentuk anak seperti apa, tetap dalam fitrah atau yang lain, ibulah yang berperan. Apalagi ketika anak masih usia TK/SD, sang anak cenderung menuruti apa saja yang diarahkan oleh ibunya karena secara psikologis, anak membutuhkan perlindungan dan kedekatan seorang ibu. Apa yang dianggap baik oleh ibunya, akan diikuti.
Seorang ibu adalah peletak pondasi masa depan anak. Pondasi keimanan adalah modal utama dan paling penting yang akan menentukan sifat, sikap, pandangan, pegangan hidup dan prestasi anak kelak. Meski tentunya seorang ayah juga harus ikut berperan mendidik buah hatinya.
Menjadi seorang ibu adalah tugas berat yang dituntut terus melakukan pembelajaran terhadap diri sendiri agar perannya dapat optimal. Tidak ada kata berhenti belajar sebagai seorang ibu ketika kita berharap memiliki anak-anak yang sholeh, cerdas, berguna bagi bangsa dan menjadi cahaya yang akan menerangi umat.

---- 00 ---

Kisah diatas saya alami beberapa hari setelah membaca kembali buku yang pernah saya beli tahun 2007 lalu yaitu ZERO to HERO hasil karya Solikhin Abu Izzudin terbitan Pro-u Media, dimana saat itu saya harus membuat materi untuk pengajian pekanan anak-anak SMA yang saya bina. Ketika membaca kembali ZERO to HERO, saya selalu termotivasi agar memperbaharui hidup setiap saat. Untuk tidak melewatkan momentum apapun, sekecil apapun agar mempunyai prestasi di hadapan Allah SWT bukan di hadapan manusia. Karena momentum tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya, ungkap Solikhin Abu Izzudin dalam buku ZERO to HERO. Supaya menjadi sebaik-baik manusia yang bermanfaat bagi orang lain dalam setiap kesempatan.
Karena ternyata masih banyak yang harus diperbaharui dari lingkungan kita. Masih banyak saudara-saudara sesama muslim yang butuh “sentuhan dan pencerahan”. Tetangga, anak-anak binaan di Taman Pendidikan Al Qur’an, para ABG yang sedang mencari jati dirinya dan oh... ternyata pekerjaan rumah masih sangat banyak. Seperti yang pernah disampaikan Hasan Al Banna bahwa kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia. Yang harus kita kerjakan ternyata lebih banyak dari sisa umur kita.
            Semoga kita semua senantiasa bisa memberi kontribusi sekecil apapun terhadap keluarga, lingkungan dan masyarakat agar memperberat timbangan amal sholeh di yaumil akhir kelak. Jangan sampai ada atau tiadanya diri kita sama saja. Sama-sama dianggap tidak ada seperti makhluk ghoib yang tidak terlihat.



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html